top of page

Cerita #2: Gems of IYF


Ini tulisan kedua tentang pengalamanku sebagai peserta International Youth Forum (IYF) kemarin. Maaf postingan keduanya terlalu lama, setelah dua bulan hibernasi, Alhamdulillah bisa lanjut menulis lagi tentang IYF. Tulisan ini khusus tentang orang-orang super inspiratif yang aku temui disini, setiap dari mereka punya cerita yang berkilau, menginspirasi orang-orang disekitarnya. Makanya, aku sebut mereka “Gems of IYF”

1. Mbak Reky Martha, Co-founder Hoshizora Foundation

Mbak Reky adalah salah satu fasilitator kami di desa Panglipuran. Dari awal aku sudah penasaran dengan Mbak Reky karena bahasa inggrisnya yang fasih kelewatan, ditambah casual look nya yang aku suka banget. Mbak Reky juga termasuk orang yang cepat sekali dekat dengan kami para peserta, aku secara personal, melihat Mbak Reky sebagai pribadi yang lembut tapi cekatan.


Perjalanan dari desa Panglipuran menuju Nusa Dua Bali dengan bis lumayan lama, sekitar 2 jam. Kebetulan aku duduk di dekat dia dan kita mengobrol tentang banyak hal. Darisini lah aku sadar kalo dia “one of the most adventurous women that I ever known”. Mbak reky sudah tinggal di berbagai belahan dunia. Atau yang dia sebut sebagai nomaden. Dia tinggal beberapa tahun di Jepang untuk kuliah S1 dan lanjut kerja. Kemudian karena merasa perlu memperdalam, mengaplikasikan ilmunya lebih jauh lagi, dia pindah ke Vancouver, Kanada, melanjutkan pendidikan S2 jurusan psikologi. Nah, ini menjawab pertanyaanku di awal-awal program tentang dia yang langsung tahu kalau aku ada keterbatasan fisik. Dia kadang memeluk atau sekadar memberi sentuhan saat kami berdua bicara. Dan itu adalah bagian dari encouragement di psikologi. Oke, mungkin ini terlalu melenceng dari topik.


Kembali ke perjalanan beliau tadi, setelah beberapa tahun di Kanada kemudian dia terbang ke Polandia untuk kerja. Selama di Polandia, Mbak Reky selalu melakukan ‘penjelajahan’ disaat libur. Bukan menjadi turis ke pantai (dan selfie), tetapi ke negara-negara lain seperti Mexico, Peru, Columbia dan tinggal 1-2 bulan dengan warga disana. Wow. Mungkin ini yang namanya ‘menemukan jati diri dengan travelling’. Total dia tinggal di negara lain adalah 15 tahun.


Foto dari kiri ke kanan: Mbak Herlin (Dosen bahasa Inggris UI), aku, dan Mbak Reky


Di bulan Juni 2016, Mbak Reky memutuskan kembali ke Indonesia untuk bergabung dengan Hoshizora foundation. Sebuah organisasi sosial yang menyediakan beasiswa bagi anak-anak di Indonesia yang putus sekolah. Dan sekitar Maret 2016 Hoshizora baru menyelesaikan program kerjanya di Kayu Agung, Sumatera Selatan.


Terbayangkan tidak? Mbak Reky yang sudah punya pekerjaan tetap di luar negeri, pengalaman mumpuni di lebih 2 negara, belum lagi relasi dan fasilitas yang dia punya, rela meninggalkan semuanya dan kembali ke tanah air untuk membantu anak-anak Indonesia di daerah. Bersama Hoshizora foundation, dia menjadi tali penghubung yang menyambung harapan anak-anak putus sekolah dengan para donatur internasional. Wahai, cantik sekali hatinya ya?


Tentang keterlibatan di IYF, Mbak Reky rela melepas undangan dari PBB untuk datang ke kantor pusat PBB, New York karena tanggal pelaksanaan yang berdekatan dengan IYF. Lalu akhirnya memutuskan untuk menjadi fasilitator di IYF. Sungguh. Bertemu dengan orang seperti dia yang membuat aku sadar kalau orang yang cinta tanah air itu memang ada.


Semoga kedepannya aku disegerakan bertemu lagi dengan Mbak Reky untuk suatu projek yang sama, atau kesempatan lain yang lebih baik. Dan berikut tentang Hoshizora Foundation, yuk dikepoin:

Website: http://www.id.hoshi-zora.org

Instagram: hz_foundation

Facebook: Hoshizora Foundation

2. Pak Ismunandar, Atase Pendidikan KBRI Washington DC

IYF merupakan agenda dari World Culture Forum (WCF). Karenanya 2 hari terakhir dari agenda kami adalah mengikuti karnival budaya di Ubud dan konferensi di Nusa Dua Convention Center (NDCC), Bali. Peserta WCF ini benar-benar beragam mulai dari NGO, institusi pemerintah, para diplomat yang bertugas di Indonesia, mahasiswa dan umum.


Di karnaval budaya, suasananya sangat ramai dan tempat untuk peserta non-undangan membuat aku dan teman-teman IYF kesulitan melihat penampilan tari dan teatrikal yang ditampilkan. Akhirnya sedikit-sedikit aku dan seorang teman berhasil maju ke bangku depan walaupun harus berdiri hampir setengah acara. Di samping aku waktu itu ada satu ibu yang doyan sekali makan kacang (disediakan cemilan selama acara). “Darimana dek?” si ibu memulai obrolan. “Dari Palembang, Bu. Hehe. Ibu darimana?”. “Ohh, mahasiswa atau NGO? Saya atase pendidikan Indonesia di Jepang”. Ah. Speechless. Kami pun lanjut bincang-bincang ringan selama acara. Beliau bercerita tentang budaya mahasiswa Jepang, kebiasaan mahasiswa Indonesia di Tokyo, dan banyak lagi. Teringat satu hal, aku langsung bertanya ke beliau “Berarti atase pendidikan lain juga datang ya, Bu? Kalau Pak Ismu ada Bu?”, “Datang dong! Tuh dipanggung disudut kanan, liat aja!”. Refleks tengok kiri kanan, dan benar, ada Pak Ismu!



Kembali ke bulan Maret 2016, pertama kali tahu tentang Pak Ismunandar. Beliau berkunjung ke University of Arkansas untuk silaturahim ke mahasiswa Indonesia yang belajar disini. Aku pun bertemu beliau di acara makan malam untuk. Alhamdulillah, beliau memberikan nomor teleponnya dan berjanji akan mengundang aku dan grantee Indonesia lain kalau kami ke KBRI Washington DC. Saat itu masih belum percaya kalau bisa sampai bertukar nomor telepon dengan beliau.



Bulan April 2016 aku dan dua grantee Indonesia pergi ke Washington DC untuk mengikuti workshop akhir program. Tentunya aku tak lupa tentang janji Pak Ismu sebelumnya dan langsung memberi kabar pada beliau tentang kami yang saat itu ada di DC. Lusanya, alhamdulillahirabbilalamin kami benar-benar berkunjung ke KBRI. Berjalan kaki 20 menit dari hotel, gedung KBRI cantik sekali berjejer dengan kantor kedutaan negara lainnya. Pegawai di KBRI ramah-ramah, ditambah penjaga gerbangnya memberikan senyum manis menyambut kami (dia bukan orang Indonesia, tapi bahasa Indonesia nya lumayan). Hari itu kami berkeliling KBRI dan ditraktir nasi goreng oleh Pak Ismu.



6 bulan kemudian, siapa sangka aku bisa bertemu lagi dengan Pak Ismu di Bali? Sayangnya saat karnaval aku tidak sempat menyapa beliau. Namun di esok hari saat konferensi, kami tidak sengaja berpapasan. Walau hanya bisa berbincang sebentar karena beliau harus menyambut para diplomat negara lain, fakta bahwa aku bertemu beliau lagi di Indonesia terasa ajaib dan sekaligus aneh. Semua mungkin jika Allah SWT sudah berkehendak. Pak, saya sedang mengusahakan untuk kembali bertemu di KBRI DC! AAMIIN.


3. Teman satu desa di Panglipuran

Peserta IYF dan WCF adalah para undangan dan peserta yang lolos rangkaian seleksi. Dan aku tipe orang yang lebih dari senang belajar dari orang lain, contohnya para peserta IYF yang hebat-hebat disini. Terlalu panjang kalau diceritakan peserta seluruhnya sekaligus, jadi aku tulis tentang beberapa teman satu desa di Panglipuran.


Di Panglipuran kami dibagi menjadi 5 kelompok. Ada 2 peserta internasional di kelompokku dan salah satunya adalah Laos (nama disamarkan), dia berasal dari Australia. Dari dia aku belajar tentang definisi identitas kita sebagai pemuda. Saat diskusi, Laos bercerita tentang waktu dimana dia merasa bingung bagaimana cara mendefinisikan dirinya sendiri. Ayahnya berasal dari Mesir, sedangkan Ibu nya berasal dari Australia. Saat kecil dia galau antara dua agama. Hidupnya juga berpindah-pindah antara Mesir dan Australia. Dia juga sempat terlibat dalam revolusi Mesir. Hebatnya dia berhasil tiba pada suatu kesimpulan yaitu “When people ask me what my identity is, I will say that I am a global citizen of the world. I fit as an Egyptian, I have also an identity in Australia. Wherever I am, I will try to fit to the place and belong to it.”


Selain Laos, ada juga Sharen dan Thea. Thea pernah tinggal di Inggris selama 2 tahun dan berkuliah di Oxford. Sharen, dia guru bahasa Inggris di Jakarta yang pernah exchange keluar negeri dan sekarang melanjutkan pendidikan ke Jerman dengan beasiswa DAAD. Lagi, sungguh karunia Tuhan dikelilingi orang-orang seperti ini. Tapi bukan cuma mereka yang pernah keluar negeri yang bisa menjadi peserta IYF. Ada penggiat seni seperti Wawan, ketua kelompokku di desa ini. Sebentar lagi Wawan akan menerbitkan dua buku puisinya. Dan masih banyak peserta lain yang menginspirasi aku yang masih belum apa-apa ini.


Secara pribadi, sangat penting menurutku untuk terinspirasi dari orang lain. Tidak selalu orang yang besar atau hebat, tapi siapapun. Dengan bertemu mereka, mutiara-mutiara di lautan manusia ini, aku kembali memanggil semangatku yang sempat redup oleh rutinitas. Percaya kalau semuanya mungkin, semua mimpi bisa diwujudkan kalau kamu percaya dan hidup dengan membawa mimpi kamu. Bertukar cerita dengan mutiara seperti mereka, mengingatkan aku untuk bersyukur lebih banyak lagi, berjuang lebih kencang lagi, agar bisa bergantian menginspirasi.


"Become friends with people who aren't your age. Hang out with people whose first language isn't the same as yours. Get to know someone who doesn't come from your social class. This is how you see the world. This is how you grow"


Catatan:

Terima kasih untuk semua orang yang disebutkan dalam postingan ini. Maaf nama kalian disebutkan tanpa izin ataupun ada tulisan yang tidak disukai. Sungguh ini murni rasa syukur dan kagum untuk kalian semua.

Featured Posts 
Recent Posts 
Find Me On
  • Facebook Long Shadow
  • Twitter Long Shadow
  • YouTube Long Shadow
  • Instagram Long Shadow
Search By Tags
No tags yet.
The Memory of That Day - Kim Jong Wan (Nell)
00:00 / 00:00

Join our mailing list

Never miss an update

bottom of page