top of page

Opini #1: Komentar, Lalapan Wajib Orang Indonesia

Komen, komen, komen. Jika sosial media itu ibarat nasi, maka komentar adalah lalapan wajibnya. Sama dengan pertemuan secara langsung. Kalau ketemuan dan mengobrol itu menu utama, maka komentar adalah dessert nya. Komentar memang tidak bisa dipisahkan dari obrolan-obrolan santai, diskusi, atau saat seluncur di dunia maya.

Namun seringkali muncul komentar yang sebenarnya tidak perlu-perlu sekali untuk disampaikan. Kebiasaan orang Indonesia yang semangat berkomentar inilah yang membuat saya ingin menulis postingan ini. Berupa kumpulan pikiran saya yang mungkin, juga pernah kalian rasakan di kehidupan sehari-hari. Pikiran yang kalau dipendam terus terlalu lama akan membuat saya ngedumel sendiri. Saya ceritakan dalam skenario kejadian sehari-hari yang biasanya membuat saya mingkem dan hembus nafas pasrah.

SKENARIO 1

Masuk ke contoh yang paling umum: Penampilan

Orang Indonesia (kebanyakan) paling gatal mulutnya untuk komentar tentang penampilan orang lain, terutama tentang bentuk tubuh. Pernah tidak, bertemu dengan teman lama kemudian mereka berkomentar

“Ih, lo kok gendutan sih!”

“Eh, kayaknya tambah makmur nih! Hahaha!”

“CIEEE pipinya tambah tembem”

Menjadi seseorang dengan tubuh berisi apalagi gendut sepertinya sebuah kejahatan disini. Kalau begitu, bagaimana dengan orang yang kurus? Sayang sekali, jawabannya sama saja, ngenes! Dulu saat saya masih kurus (dibawah 47 kg) teman-teman selalu berkomentar bermacam-macam,

“Makan yang banyak makanya, biar gemukan dikit”

“Kalau gemuk dikit pasti cantik deh”

Dan ketika sudah nambah berat badan, apa komentar mereka? Kembali ke komentar sebelumnya. Heran kan? Saya jadi penasaran, sebenarnya standar kita tentang ‘gendut’ ‘kurus’ dan ‘sehat’ itu bagaimana ukuran eksaknya. Parahnya lagi, orang-orang bermulut gatal seperti ini tidak hanya berbaik hati menyampaikan pendapatnya secara langsung, tapi juga demen memenuhi kolom komentar di sosial media. Ini kelihatan sekali kalau orang Indonesia memang saling peduli satu sama lain.

Kalau sudah banyak yang berkomentar seperti ini, ada 2 jenis reaksi dari orang yang dikomentari. Pertama, masa bodoh dan hanya menganggap komentar-komentar tadi sebagai angin lalu. Kedua, ada yang kepikiran dan berusaha mengubah bentuk tubuhnya. Padahal walau sudah berubah, orang-orang akan tetap berkomentar ada yang salah.

SKENARIO 2

Kalian lagi makan bareng teman di warteg/kafe/resto. Seperti biasa, pertama-tama kita mulai pilih menu, dan tunggu pesanan datang. Sampai akhirnya pesanan datang kemudian lanjut ngobrol, makan, dan ketawa bareng. Tiba-tiba ada yang nyeletuk

“Itu makanannya ga abis? Sayang loh”

“Kok makannya dikit? Diet ya?”

“Udah gak usah jaim. Abisin aja”

Nah ini terjadi saat makanan yang kita pesan tidak bisa kita habiskan. Atau, pernah mengalami yang ini?

“Wih abis bersih gitu. Laper banget lo kayaknya”

“Ternyata lo makannya banyak juga ya”

Heh? Jadi ukuran makan yang normal itu seberapa banyak ya?

SKENARIO 3

Kali ini bukan tentang bentuk badan atau makanan, tapi budaya membaca. Misal bawa novel ke kampus dan dibaca di waktu senggang menunggu kelas dimulai.

“Bacaannya berat banget. Jadi keliatan kan siapa yang tua”

“Awas tuh, dia udah bawa bukunya. Kita meleng dikit pasti langsung baca buku”

Bisa juga baca buku saat menunggu dosen bimbingan. Duduk santai di depan jurusan. Muncul yang seperti ini,

“Dek, emang masih ujian ya? Kok baca buku?”

what?

SKENARIO 4

Kembali ke masalah penampilan, yaitu busana alias fashion seseorang. Hal yang sangat krusial terutama bagi perempuan. Dulu saat masih di bangku sekolah, kita tidak perlu terlalu pusing merencanakan hari ini, besok, harus pakai baju apa karena sudah ada baju seragam. Masalah baru akan terasa saat menjadi mahasiswa yang berpakaian bebas setiap hari ditambah kalau ada jalan-jalan bareng teman sejawat di kampus.

Anggaplah X adalah seorang mahasiswa yang males untuk cuci baju setiap hari. Alhasil, X memakai satu baju untuk 2x dalam seminggu kuliah.

“Ini baju yang lo pake kemaren itu kan ya?”

“pasti gak mandi nih, baju aja ga ganti”

“emang ga ada baju laen buat ke kampus?”

Komentar yang sama akan muncul saat kita memkai atasan/bawahan yang sama saat jalan-jalan dengan teman-teman. Orang yang pakai baju yang sama seperti ini, cenderung dianggap ‘kanker’ alias Kantong Kering.

Jadi, alasan beli baju baru kaum perempuan itu menurut saya ada 3. Kepuasaan diri, sedang butuh, dan yang paling besar itu adalah karena takut dikomentari orang lain. Inilah penyebab lemari perempuan itu penuh tapi mereka selalu bilang tidak ada baju yang bisa dipakai. Jangan lupa, saat pakai baju baru komentarnya akan tetap ada.

Kebanyakan cewek pasti pernah mengalami ini

“Cie baju baru nih!”

“Baju baru asiik. Beli di mall apa dimana kemaren?”

Gak bang, bajunya aku maling dari toko sebelah

Saya yakin masih banyak skenario lain dari pengalaman kalian, yang sukses membuat kita gemas (sok komen dibawah). Akhirnya saya hanya bisa berdoa semoga orang-orang yang ada di skenario ini, termasuk saya, bisa semakin memperbaiki diri dan semakin cerdas dalam menyampaikan pendapat.

Ini demi kesehatan lahir dan batin loh ya. Memang terkadang sarkasme itu perlu sebagai bumbu penyedap obrolan. Namun akan lebih baik kalau tidak disampaikan sepanjang waktu. Izinkanlah orang lain untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus memenuhi kriteria baik menurut kita sendiri.

Akhir kata, postingan ini pun ditutup dengan komentar

Salam lalapan indonesia! Semoga bermanfaat.

Featured Posts 
Recent Posts 
Find Me On
  • Facebook Long Shadow
  • Twitter Long Shadow
  • YouTube Long Shadow
  • Instagram Long Shadow
Search By Tags
No tags yet.
The Memory of That Day - Kim Jong Wan (Nell)
00:00 / 00:00

Join our mailing list

Never miss an update

bottom of page