top of page

Cerita #4: 5 Perbedaan yang Dialami Ketika Menjadi Pelajar Muslim di Amerika


Sudah seminggu ini dunia dihebohkan dengan peraturan baru presiden baru Amerika, Donald Trump, yang melarang 7 negara Islam untuk masuk ke USA. 7 negara tersebut adalah Iran, Irak, Suria, Yaman, Sudan, Somalia, dan Libya. Meskipun Indonesia tidak masuk kedalam daftar peraturan baru tersebut, tindakan ini tentunya semakin menambah kekhawatiran mereka yang berniat melanjutkan sekolah atau karirnya di negeri paman sam ini. Sebelum munculnya peraturan ini pun, pertanyaan seperti “Bagaimana saya sholat di USA nanti?” “Apakah saya akan di bully karena saya seorang muslim?” hampir selalu muncul di setiap diskusi.

Lalu, bagaimana sebenarnya kehidupan seorang pelajar muslim di USA? Berkesempatan belajar satu semester disana, aku akan berbagi cerita tentang kehidupanku sebagai seorang pelajar muslim di Arkansas, USA. Apa saja perbedaannya dengan Indonesia?

1. Waktu shalat

Tinggal di Fayetteville, Arkansas, kota kecil yang terkenal dengan kondisi cuaca yang tidak menentu. Aku pun tiba saat akhir musim dingin dimana cuaca bisa berubah drastis dalam satu hari, sehingga 3 aplikasi ini wajib ada di smartphone yaitu email, ramalan cuaca, dan waktu sholat. Saat bangun tidur, yang pertama aku lakukan adalah mengecek 3 aplikasi tadi. Kenapa? Beda musim, beda cuaca, akan berubah juga waktu sholatnya. Ramalan cuaca juga yang menentukan pakaian apa yang harus dipakai hari itu. Mantel? Jaket biasa? Payung? Ataupun sepatu boots kalau hujan sepanjang hari.

Lain halnya dengan Indonesia yang waktu shalatnya tidak jauh berbeda baik di musim hujan ataupun musim kemarau. Ditambah kita memiliki pengingat waktu shalat sendiri yaitu adzan di masjid-masjid. Disini, kita harus mandiri mencari tahu waktu shalat sendiri. Karena bisa saja di satu hari waktu adzan Magrib adalah 17.30, besok lusa bisa jadi 19.20. Begitu juga waktu shubuh, dzuhur, ashar dan isha selalu berubah sesuai musim. Seringkali aku harus menjamak sholat magrib dan isya karena waktunya terlalu sempit.

2. Tempat shalat

Di Indonesia mudah sekali menemukan musholla dan masjid baik itu di kampus, mall, dan tempat umum lainnya. Namun di Fayetteville, masjidnya hanya satu. Itupun aku beruntung karena teman-teman Indonesia di negara bagian lain tidak menemukan masjid di kota mereka.

Karena dalam satu kota hanya ada satu masjid sehingga tidak bisa selalu pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat 5 waktu. Alternatifnya, aku shalat shubuh di kamar asrama. Namun harus berhati-hati tidak membangunkan Lizabeth, teman sekamarku. Untuk 4 waktu shalat lainnya aku biasa shalat di kelas saat masih sepi ataupun di kelas sebelah yang sedang tidak dipakai belajar. Kalau sedang di Union, biasanya aku shalat di ruang ibu menyusui. Masih banyak lagi tempat yang bersih yang bisa dijadikan tempat shalat. Di perpustakaan, ruang rapat di museum, bahkan di lorong-lorong antar kelas saat aku ada acara di sekolah dasar. Jadi banyak temat yang bisa dijadikan tempat shalat. Perjuangannya ada saat mengambil wudhu. Tidak ada tempat wudhu tersedia selain di masjid sehingga harus mengambil wudhu di wastafel. Semua toilet di USA adalah toilet kering, tak perlu membuka alas kaki saat masuk ke toilet. Jadi bayangkan kalau musim dingin dan kebanyakan orang memakai boots, mereka jadi heran melihat aku yang harus melepas boots dan kaus kaki untuk mengambil wudhu di wastafel. Well, you just need to be innocent for a while and ignore them.

Sumber gambar: Facebook Islamic Center in Northwest Arkansas

Sedikit bercerita tentang pertama kali aku menemukan masjid di Fayetteville. Ingat sekali waktu itu hari terakhir orientasi mahasiswa internasional. Aku sudah lebih dari seminggu disini dan kangen mendengar suara adzan. Ditambah lagi aku belum juga menemukan orang Indonesia satupun. Bermodal Google maps, aku berjalan kaki dari asrama ke masjid (Islamic Center in Northwest Arkansas) dan saat itu suhunya mendekati nol derajat. Jalanan sepi karena hari mulai gelap, medan yang naik turun semakin membuatku takut dan ingin kembali ke asrama. Setelah hampir 20 menit, akhirnya aku pun tiba di masjid. Tapi sayangnya aku tidak bisa masuk karena pintunya dikunci.

Huft, kuat gak ya jalan ke asrama lagi kalau sedingin ini?” ujarku dalam hati. Saat berbalik, ternyata ada seorang bapak yang baru datang dan ingin masuk masjid. “Where are you from?” tanyanya, melihat aku yang diam di depan pintu. “Indonesia, Sir”. “Oh! Kapan sampe?! Kok saya gak tahu ada mahasiswa Indonesia baru?”. Alhamdulillah, ternyata bapak itu adalah Mas Wawan, orang Indonesia yang bekerja sebagai asisten dosen di University of Arkansas. Dia memberi tahu kalau hanya orang yang terdaftar sebagai anggota saja yang bisa masuk ke masjid karena setiap anggota akan diberi kunci khusus. Setelah masuk ke masjid, ternyata pintu masuk wanita dan laki-laki dibedakan. Tempat shalat wanita berada di lantai dua sedangkan tempat shalat laki-laki ada di lantai bawah. Dan selesai sholat ternyata ada rezeki lain dari Allah SWT. Aku dikenalkan Mas Wawan dengan Mas Tono, mahasiswa S3 yang berasal dari Palembang dan dulu bersekolah di SMA 5. Waw, wong kito galo dipertemukan di Fayetteville.

Selain untuk shalat Islamic Center in Northwest Arkansas ini juga menjadi tempat berkumpul bagi sesama umat muslim dari Indonesia, Iran, Irak, Saudi Arabia, Libya, dan masih banyak lagi. Mulai dari pengajian ibu-ibu sampai pesantren singkat ramadhan. Oh ya, sesama muslimah biasa dipanggil dengan Sister. Mungkin harapannya dengan panggilan ini obrolan terasa lebih akrab yaa.

3. Keleluasaan beribadah

“Setiap orang harus merasakan menjadi minoritas setidaknya sekali seumur hidup”

- kutipan dari artikel karya mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan master di New York.

88% penduduk Indonesia adalah muslim. Karenanya setiap umat muslim memiliki kebebasan penuh untuk beribadah. Namun di USA umat muslim lah yang menjadi minoritas. Aku tidak bisa mengaji di kamar asrama karena akan menganggu teman di kamar lain. Sebagai minoritas aku juga tidak bisa marah mengetahui orang yang membawa bir ke kamarnya. Atau prilaku lain yang mungkin jika dilakukan di Indonesia orang itu sudah masuk instagram dan recent updates BBM.

Hidup sebagai pelajar muslim di USA tidak seseram yang aku kira selama ini. Sehemat ku selama tinggal di Fayetteville, hampir seluruh warganya memiliki sikap toleransi yang tinggi. Teman non-muslim tidak pernah menganggu saat mereka melihat aku shalat. Guru dikelas memberikan izin untuk pergi sebentar dari kelas dan beribadah. Dan tidak ada orang yang melakukan intimidasi secara fisik ataupun verbal karena aku seorang muslim. Jadi bagi teman-teman yang masih takut belajar diluar negeri karena hal ini, percayalah Allah SWT melindungi umatnya yang sedang berjuang mencari ilmu :)

Hanya ada satu hal yang selalu muncul dari teman-teman non muslim: Pertanyaan. Ya, mereka haus informasi tentang Islam yang sebenarnya. Siapkan jawaban untuk pertanyaan seperti “Why don’t you eat pork?”, “Why did you never go to club with us?”, “How does it feel to be a Muslim?”, “So I will never see X’s hair because she wears hijab?” dan masih banyak lagi. Kita tidak bisa hanya menjawab karena semua hal tersebut tercantum di kitab suci. Kita harus menyiapkan jawaban yang logis dan dapat diterima oleh mereka yang tidak mengerti tentang umat muslim.

Di Indonesia teman non-muslim kita yang ikut mendengarkan saat dosen mengajarkan tentang nilai-nilai agama di kelas, ataupun ikut duduk di mushola karena menunggu kita yang beribadah. Aku merasakan hal yang sebaliknya disini. Kebanyakan temanku adalah umat kristiani yang taat. Setiap jumat biasanya mereka berkumpul di satu tempat untuk belajar dan berdiskusi tentang kitab injil, kegiatan ini disebut Friday Study atau Friday Prayer. Menghormati teman-temanku, aku kadang datang ke Friday Study. Disini biasanya mereka bercerita apa saja yang dilalui selama seminggu, dan ayat apa yang berkaitan dengan kegiatan ataupun masalah yang sedang dihadapi. Mereka terkadang bertanya pendapatku tentang bagaimana Islam memandang masalah tersebut. Tidak hanya aku yang membuka diri untuk ikut dalam kegiatan mereka, sebagian temanku juga ingin belajar tentang Islam dengan berkunjung ke masjid dan mengikuti kegiatan yang ada disana.

Pasca larangan presiden Trump terhadap 7 negara Islam, aku khawatir tentang keadaan teman-teman muslim disana. Alhamdulillah mereka memberi kabar bahwa semua berjalan baik, pihak universitas dan komunitas terus menunjukkan dukungan mereka untuk umat muslim di Arkansas. Beberapa hari kemudian aku melihat bukti nyata indahnya toleransi antar umat beragama:

4. Memandang perbedaan dari dua sisi

Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dari bahasa, suku, agama, sampai kebiasaan. Namun terkadang kita kurang memahami arti perbedaan itu karena menganggapnya suatu hal yang lumrah. Begitu juga saat kita disuguhi bermacam berita oleh media. Contohnya berita tentang Islam di Amerika. Hampir setiap saat kita mendapatkan berita negatif seperti bullying, diskriminasi, sampai penembakan di tempat umum oleh warga ekstrimis. Sehingga terbentuklah stereotipe negatif warga asing yang melekat di benak orang Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi bagi warga di Amerika. Setiap berita yang mereka dengar tentang Islam selalu negatif, tidak jauh dari terorisme. Yang patut dicontoh dari mereka adalah mereka menolak untuk menerima begitu saja informasi yang mereka dapat. Walau memang ada pihak-pihak yang terpengaruh dan berprilaku negatif.

Salah satu temanku, Betsy adalah seorang umat kristiani yang taat. Dia beberapa kali mengajak aku minum kopi sambil mengobrol santai. Betsy penasaran tentang kisah nabi-nabi menurut Islam, sebaliknya dia juga bercerita kisah-kisah yang ada di kitab Injil. Banyak Americans yang seperti Betsy, berusaha mencari jawaban atas rasa penasarannya dengan langsung bertanya ke teman muslim.

Sesama umat muslim di Fayetteville juga masih memiliki perbedaan karena kami datang dari negara yang berbeda. Pelajar muslim yang berasal dari Pakistan akan memiliki pemahaman berbeda dengan pelajar muslim yang berasal dari Tunisia. Karena perbedaan yang ada inilah, kami mahasiswa internasional sering berkumpul di sore hari untuk mengobrol tentang keseharian, kebiasaan, sampai agama dan politik. Perbedaan yang ada diantara kami memang terkadang membuat kami kesal satu sama lain, tapi perbedaan juga yang membuat persahabatan ini semakin bermakna.

5. Menjadi lebih bersyukur

Semua pengalaman diatas membuat aku sadar kalau kehidupan sehari-hari kita sebagai muslim di Indonesia bisa jadi adalah impian bagi umat muslim yang ada di belahan benua lain. Begitu banyak kemudahan yang kita dapat yang umat beragama lain tidak bisa rasakan.

Yuk, teman-teman, kita peluk erat perbedaan yang ada ditengah-tengah kita. Cari tahu cara pandang mereka yang berbeda dari kita, menolak untuk langsung menilai sesuatu dari hanya satu sisi cerita. Berbuat baiklah kepada mereka yang minoritas karena siapa tahu, dampaknya mungkin bukan kita yang merasakan tapi saudara muslim kita nan jauh disana.

Sekian dulu cerita di bulan Februari ini, semoga bermanfaat!

Featured Posts 
Recent Posts 
Find Me On
  • Facebook Long Shadow
  • Twitter Long Shadow
  • YouTube Long Shadow
  • Instagram Long Shadow
Search By Tags
No tags yet.
The Memory of That Day - Kim Jong Wan (Nell)
00:00 / 00:00

Join our mailing list

Never miss an update

bottom of page